Malam itu, kondisi alam sedang sangat mendukung untuk menikmati secangkir kopi sambil bercengkerama dengan rekan-rekan untuk sekedar menghabiskan malam. Meluncurlah saya saat itu menuju ke warung kopi milik Om Gepeng. Sebuah warung kopi segala golongan yang tak mengharamkan mereka yang hanya beli kopi segelas namun nongkrong sampai lebih dari 4 jam.
Begitu saya sampai, Beberapa bapak-bapak nampak sedang beradu argumen bahkan dengan ekspresi wajah yang lumayan serius. Sampai-sampai ketika saya mencoba menyapa salah satu dari mereka, saya hanya di cuekin saja. Positif thinking lah saya, mungkin saya nyapanya kurang keras dibanding suara bapak lainnya yang kelihatannya adalah lawan debat dari bapak yang saya sapa tadi.
Beberapa menit duduk sambil menunggu kopi pesanan dihidangkan, saya mencoba mendengarkan apa sebenarnya yang menjadi topik perdebatan mereka sehingga sapaan mesra penuh sopan santun saya tadi akhirnya di acuhkan. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk memahami apa yang mereka perdebatkan, perihal Pilkades-lah yang ternyata membuat ke 4 bapak ini begitu serius dalam beradu pendapat sampai lupa kalau istrinya dirumah mungkin juga sudah melakukan pemanasan untuk menyiapkan topik perdebatan baru lagi, atau mungkin lebih tepatnya omelan.
Suara keras, ngotot, nggak mau kalah adalah tipikal bapak-bapak yang duduk persis didepan saya. Sementara yang diseberangnya terkesan menyepelekan setiap argumen yang dilontarkan bapak-bapak ngotot didepan saya tadi. Lalu dua bapak-bapak yang juga nampak ikut menyimak perdebatan namun dengan senyum yang sedikit dipaksakan hanya bertugas meng"iyakan" setiap argumen yang dipertanyakan kepadanya. " Jagoku iki wis mesti menang Neng Wilayah Nganti Njoho, yo rak wo?" begitu biasanya argumen yang dilemparkan, lalu si bapak pasif cuma jawab " Nggih pak" lagi-lagi dengan senyum yang dipaksakan.
Kenikmatan ngopi saya jadi sedikit terganggu dengan semakin tingginya nada bicara di arena perdebatan yang tak kalah panas dengan ILC di TVOne itu. Meski begitu satu hal positif yang bisa saya ambil dari perdebatan itu adalah setelah menghabiskan semua topik obrolan mereka kembali akur lagi, bahkan si bapak yang paling keras suaranya dan yang paling ngotot tadilah yang kemudian mentraktir para peserta debat tidak termasuk saya. Hehehehee
Ini sedikit menggambarkan bahwa masyarakat desa Desa Menganti kini sudah semakin dewasa ditengah maraknya trik dan kelicikan persaingan politik yang semakin terang-terangan dipertontonkan di tingkat yang lebih tinggi. Karena memang siapapun kepala desa yang kita jagokan akan menerima 2 kemungkinan yang sama, kalau tidak menang ya pasti kalah karena namanya kompetisi itu sudah mutlak hukumnya. Yang menang harus dihormati karena bagaimanapun dialah pemimpin sah desa nantinya sementara yang kalah santai saja, saya tidak bilang bukan rejekinya, karena menjadi pemimpin bukan sebuah rejeki namun amanah atau tugas yang tentu saja memiliki konsekuensi yang berat dunia dan akhirat apabila tidak dapat adil bahkan sengaja melakukan kecurangan yang merugikan warganya.
Beberapa menit duduk sambil menunggu kopi pesanan dihidangkan, saya mencoba mendengarkan apa sebenarnya yang menjadi topik perdebatan mereka sehingga sapaan mesra penuh sopan santun saya tadi akhirnya di acuhkan. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk memahami apa yang mereka perdebatkan, perihal Pilkades-lah yang ternyata membuat ke 4 bapak ini begitu serius dalam beradu pendapat sampai lupa kalau istrinya dirumah mungkin juga sudah melakukan pemanasan untuk menyiapkan topik perdebatan baru lagi, atau mungkin lebih tepatnya omelan.
Suara keras, ngotot, nggak mau kalah adalah tipikal bapak-bapak yang duduk persis didepan saya. Sementara yang diseberangnya terkesan menyepelekan setiap argumen yang dilontarkan bapak-bapak ngotot didepan saya tadi. Lalu dua bapak-bapak yang juga nampak ikut menyimak perdebatan namun dengan senyum yang sedikit dipaksakan hanya bertugas meng"iyakan" setiap argumen yang dipertanyakan kepadanya. " Jagoku iki wis mesti menang Neng Wilayah Nganti Njoho, yo rak wo?" begitu biasanya argumen yang dilemparkan, lalu si bapak pasif cuma jawab " Nggih pak" lagi-lagi dengan senyum yang dipaksakan.
Kenikmatan ngopi saya jadi sedikit terganggu dengan semakin tingginya nada bicara di arena perdebatan yang tak kalah panas dengan ILC di TVOne itu. Meski begitu satu hal positif yang bisa saya ambil dari perdebatan itu adalah setelah menghabiskan semua topik obrolan mereka kembali akur lagi, bahkan si bapak yang paling keras suaranya dan yang paling ngotot tadilah yang kemudian mentraktir para peserta debat tidak termasuk saya. Hehehehee
Ini sedikit menggambarkan bahwa masyarakat desa Desa Menganti kini sudah semakin dewasa ditengah maraknya trik dan kelicikan persaingan politik yang semakin terang-terangan dipertontonkan di tingkat yang lebih tinggi. Karena memang siapapun kepala desa yang kita jagokan akan menerima 2 kemungkinan yang sama, kalau tidak menang ya pasti kalah karena namanya kompetisi itu sudah mutlak hukumnya. Yang menang harus dihormati karena bagaimanapun dialah pemimpin sah desa nantinya sementara yang kalah santai saja, saya tidak bilang bukan rejekinya, karena menjadi pemimpin bukan sebuah rejeki namun amanah atau tugas yang tentu saja memiliki konsekuensi yang berat dunia dan akhirat apabila tidak dapat adil bahkan sengaja melakukan kecurangan yang merugikan warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar